Bambang Brodjonegoro Sebut Perpindahan Ibu Kota Telah Melalui Kajian yang Komprehensif
Jakarta, GoIKN.com,- Bambang Brodjonegoro yang pernah menjabat sebagai sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia sekaligus Kepala Bappenas sejak 27 Juli 2016 hingga 20 Oktober 2019 dihadirkan oleh Pemerintah sebagai saksi dalam persidangan formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Rabu, 18 Mei 2022.
Dalam sidang untuk dua perkara, yakni Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Nomor 34/PUU-XX/2022, Bambang menerangkan kesaksian mengenai pembahasan wacana perpindahan ibu kota yang sudah berlangsung lama.
Bambang menyebut ide perpindahan ibu kota muncul sejak 2017. Kala itu, Presiden Joko Widodo mengusulkan perpindahan ibu kota ke Kalimantang Tengah dengan alasan luasnya lahan yang dimiliki Pemerintah untuk membangun ibu kota baru.
Namun, Bambang yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia sekaligus Kepala Bappenas tidak serta-merta langsung menyetujui usulan tersebut. Ia meminta izin untuk melakukan kajian mengenai pemindahan ibu kota baru.
Kajian tersebut menghasilkan tiga opsi, yakni mengembangkan distrik pemerintahan (government district) yang difokuskan di daerah Jakarta Pusat.
“Ada tiga opsi yang kami ajukan pertama adalah mengembangkan government district di pusat kota Jakarta tepatnya Jakarta Pusat di sekitar Medan Merdeka. Dibatasi wilayah barat waktu itu di Jalan Abdul Muis. Di Utara, Jalan Veteran. Di Timur, sekitar Lapangan Banteng dan di Selatan, Jalan Kebon Sirih dengan harapan semua gedung-gedung Pemerintah bisa pindah dan diganti dengan kantor kementerian, lembaga yang merupakan simbol dari administrasi pemerintahan,” jelas Mantan Menteri Keuangan era Kabinet Kerja tersebut.
Kemudian Bambang menyebut opsi kedua dengan mencari lokasi yang tidak jauh dari Jakarta dan tetap berlokasi di Pulau Jawa. Sementara opsi ketiga adalah keluar jawa khususnya ke Kalimantan. Ia menambahkan berdasarkan studi yang dilakukan, Kalimantan merupakan pulau di Indonesia yang risiko bencana alam lebih kecil dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia dan lokasinya berada di tengah Indonesia.
“Dari tiga opsi yang kami ajukan pada bapak Presiden, setelah kami berdiskusi disepakati kita tetap memilih opsi ketiga yaitu pemindahan ibu kota keluar Jawa, Dan ketika sudah diputuskan, maka kami kemudian mengajukan agar kami melakukan pemilihan lokasi,” tegas Bambang.
Dalam keterangannya, Bambang juga menambahkan alasan dipilihnya Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota baru adalah karena lokasi tersebut dekat dengan dua kota berukuran menengah di kota yang telah fungsional atau kegiatan perekonomiannya sangat aktif.
“Ide kami yakni ingin membuat wilayah perkotaan yang tidak hanya bergantung oleh satu kota, tetapi merupakan sistem perkotaan dimana ada IKN, Balikpapan dan Samarinda. Disitulah kita berharap ada ibu kota yang hanya menjadi pusat pemerintahan tetapi juga hidup dari segi kegiatan ekonominya karena terdapat dukungan dari kota-kota yang sudah berkembang,” tegas Bambang.
Prosedur Pembentukan UU IKN
Sementara Pakar Hukum Tata Negara yang juga Dosen Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta Wicipto Setiadi yang dihadirkan sebagai ahli oleh Pemerintah menyampaikan bahwa menguji prosedur pembentukan UU IKN harus disesuaikan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 UU Tentang DPR, DPD dan DPRD kemudian Perpres 87 Tahun 2014 dan juga tata tertib DPR.
Ia mengatakan, tahap pertama dilakukan dengan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan dan pengundangan. Lebih lanjut ia menjelaskan, terdapat dua asas yang akan menjadi fokus sorotan yaitu asas kejelasan tujuan.
“Setelah kami membaca dari beberapa dokumen dari Naskah Akademik kemudian UU dan juga lampiran dari UU ini maka tujuan dari pemindahan ibu kota melalui UU IKN adalah menggeser yang dikenal dengan Jawa Sentris ke Indonesia Sentris.”
“Saya kira ini menjadi suatu tujuan yang paling monumental dalam proses pembentukan UU ini disamping ada tujuan-tujuan lain,” tegas Wicipto.
Selain itu, Wicipto menjelaskan tahapan proses pembentukan peraturan perundang-perundangan yang pertama, yakni perencanaan. Setelah ia mencermati, Naskah Akademik telah disusun dengan baik karena telah ada penyelarasan.
“Prolegnas UU IKN, RUU telah dimasukkan kedalam prolegnas tahun 2021. Oleh karena itu, dari sisi perencanaan tidak terdapat sesuatu hal yang diterobos,” ujarnya.
Kemudian dari tahap penyusunan, Wicipto melanjutkan, RUU juga telah disusun dengan baik dan telah dilakukan oleh panitia antar-kementerian. Proses selanjutnya dilakukan pengharmonisasian.
Sementara pembahasan di DPR dilakukan tahapan pembicaraan tingkat I dan II sesuai dengan tata tertib DPR. Menurut Wicipto, pembentuk UU IKN telah melakukan partisipasi publik yang cukup dan melibatkan beberapa stakeholder.
Sebagaimana diketahui, permohonan pengujian UU IKN Nomor 25/PUU-XX/2022 diajukan oleh Abdullah Hehamahua (Pemohon I), Marwan Batubara (Pemohon II), Muhyidin Junaidi (Pemohon III), Letjen TNI (Purn) Suharto (Pemohon IV), Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD (Pemohon V), Taufik Bahaudin (Pemohon VI), Syamsul Balda (Pemohon VII), Habib Muhsin Al Attas (Pemohon VIII), Agus Muhammad Maksun (Pemohon IX), M. Mursalim R (Pemohon X), Irwansyah (Pemohon XI), Agung Mozin (Pemohon XII).
Para Pemohon tidak dapat memberikan pendapat, masukan, saran dan kritik dalam pembentukan UU a quo, dengan proses pembentukan UU IKN yang hanya memerlukan waktu 42 (empat puluh dua) hari dan terlihat terburu-buru, sehingga tidak membuka partisipasi publik secara maksimal sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal di lapangan.
Sedangkan para permohonan Nomor 34/PUU-XX/2022 diajukan oleh 21 orang Pemohon yang merupakan gabungan dari berbagai profesi, mulai dari para akademisi, pegawai swasta, wiraswastawan, wartawan. Para Pemohon, di antaranya Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Didin S. Damanhuri, menganggap hak konstitusional mereka dirugikan oleh pembentukan UU IKN.
Para Pemohon melalui kuasa hukum Ibnu Sina Chandranegara menyatakan proses pembentukan UU IKN dilakukan hanya dengan mendengar masukan dari berbagai narasumber, namun tidak ada pertimbangan dan penjelasan atas berbagai pertimbangan yang sangat merepresentasikan pandangan para Pemohon.
Sehingga mengakibatkan hak para Pemohon memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya menjadi dirugikan dan mengakibatkan tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terkait pengujian materiil UU IKN, para Pemohon merasa dirugikan dengan lahirnya Pasal 1 ayat (2) dan ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU IKN. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Karena tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Mengenai alasan pengujian formil, para Pemohon berdalil bahwa Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Apabila pembentukan peraturan perundang-undangan justru menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk memperdebatkan dan mendiskusikan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan melanggar kedaulatan rakyat.
Sumber: Humas MKRI
BACA JUGA